Pagi itu jam baru menunjukkan
pukul 04:00 saat saya pacu sepeda motor menuju arah Borobudur.
Ya pagi ini saya bersama teman-teman berencana ke Punthuk Mongkrong, salah satu
spot favorite untuk menikmati indahnya sunrise, saat matahari pagi muncul dengan
pemandangan candi Borobudur, Gunung Merapi dan Merbabu. Setelah bertemu
ditempat kumpul, tujuan kami alihkan ke Punthuk Gupakan Kendil, mengingat
semalam hujan dan jalanan ke Mongkrong kemungkinan licin. Langit pagi itu
terlihat jernih dan terang karena sinar bulan yang sangat membantu penerangan
sepanjang perjalanan. Ini adalah kunjungan saya yang ketiga di Gupakan Kendil.
Dibanding dengan kunjungan saya sebelumnya, kondisi saat ini sudah terlihat
semakin bagus.
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=704730409960917883#editor/target=post;postID=8961545024640808985;onPublishedMenu=allposts;onClosedMenu=allposts;postNum=6;src=postname
Selepas jam 6:30 kami bergegas
turun untuk sarapan soto Mbah So di depan lapangan Sawitan. Dari sini dua teman
kami yaitu Wiji dan Dul Rahman berpencar karena ada keperluan, sedangkan saya,
Fitria dan Aziza berencana mengunjungi pasar di kebun bambu yang baru diresmikan pada awal minggu bulan
September ini. Mengenai pasar ini saya dapatkan beritanya dari koran, dimana di
desa Bojong ada kebun bambu yang kemudian dimanfaatkan sebagai tempat wisata
alam khas pedesaan sebagai upaya pengembangan wisata pendukung Candi Borobudur.
Akses jalan menuju tempat ini
relative mudah dan sudah beraspal bagus. Dari Candi Borobudur berjalan kearah Salaman,
sampai Ringin putih, ada perempatan belok kanan ikuti jalan, sampai dipertigaan
belok kiri, sampai ada perempatan belok kanan, lurus terus ada perempatan lagi,
ambil yang lurus sudah memasuki Desa Bojong. Jika masih bingung bisa ditanyakan
ke penduduk sekitar arah menuju Kampung Bambu Klatakan.
Begitu tiba dilokasi kami
disambut dengan gelaran karpet merah dan senyum
ramah petugas jaga dan ditunjukkan arah parkir. Dari tempat parkir ini kami
diantar ke lokasi pasar yang ada di sekitaran pohon bambu. Masih terlihat sepi,
belum begitu ramai , dan saya lihat baru ada 6 orang yang membuka lincak
dagangan disini. Pasar di Kampung Bambu ini mengingatkan saya dengan Pasar
Papringan di Desa Caruban, Kandangan Temanggung, yaitu memanfaatkan kebun bambu
yang dibuat menjadi semacam pasar tradisional. Jangan bandingkan dengan
keramaian dan aneka jajanan di Pasar Papringan Temanggung yang sudah terkenal
itu, tetapi menurut saya pasar di Kampung Bambu Klatakan ini tak kalah menarik
karena yang “dijual” tidak hanya pasar saja.
Saya putuskan untuk beli minuman
legen / air nira meskipun tujuan saya sebenarnya ingin ngobrol seputar pasar
ini. Dan benar saja, ibu Umpriyati sang penjual wedang jahe,dan legen sangat
bersemangat menceritakan pasar ini. Sebelum membuka pasar ternyata sudah survey ke Pasar Papringan
Temanggung, dan hebatnya meskipun masih sepi dan belum banyak dikenal
masyarakat luas bahkan warga Borobudur sendiri, bersama ibu Sri Maonah yang
jualan es dawet disebelahnya ini tetap optimis, sadar karena masih awal usaha
dan baru buka 2 kali yaitu Minggu 4 September 2016 saat peresmian Kampung Bambu
Klatakan ini sebagai area wisata, dan dihari Minggu Legi 18 September 2016 yang
ternyata merupakan hari pasaran di Kampung Bambu Klatakan ini. Untuk
selanjutnya pasar ini akan buka tiap Minggu Legi, meskipun tidak menutup
kemungkinan untuk mengunjungi di hari – hari lain selain hari pasaran.
Fasilitas disini juga sudah
mencukupi, tersedia toilet dan juga semacam pendopo tempat singgah, tempat
parkir maupun akses masuk di beberapa tempat. Petugas disini juga dengan ramah
akan memberikan informasi sekitaran tempat menarik di area Kampung Bambu.
Tempat seluas kurang lebih 13 hektar ini memang memiliki beberapa spot menarik
untuk dijelajah, baik dengan berjalan kaki maupun dengan kendaraan ATP. Ya buat
kalian yang suka tantangan bisa menyewa kendaraan ATV ini untuk berkeliling
Kampung Bambu, menyusuri perkebunan penduduk dan yang sangat ekstrim tentu saja
di jalur pinggir Sungai Progo dengan kondisi jalan yang naik turun, berani coba
? Harga sewa ATV inipun juga termasuk standar, menurut info yang saya dapat,
untuk keliling sampai pinggiran sungai ini dipatok 50rb saja yang katanya bisa
sampai 1 jam perjalanannya, nah kalo cuma mau muter – muter dipasarnya saja
juga bisa , hanya 20rb. Nantinya akan disediakan sepeda ontel kuno bagi
penggemar sepeda untuk menyusuri jalanan di Kampung Bambu ini.
Kami memilih jelajah jalan kaki
dan petugas disana dengan senang hati menemani sambil menceritakan keadaan
sekeliling. Tujuan pertama adalah melihat pertemuan sungai dan perjalanan
dimulai dari seberang pasar ( lokasi pasar ini ditengahnya ada semacam sungai kering
yang dihubungkan dengan jembatan bambu dan lokasi ini digunakan untuk
pertunjukan kesenian tradisional ) . Begitu keluar area pohon bambu, langsung
dijumpai lahan perkebunan penduduk diantaranya kebun ketela dan kebun papaya.
Pak Narwadi serta Mas Agus Subandono yang menemani kami bergantian menceritakan
dan menjelaskan keadaan sekeliling. Yang sangat menarik di sisi sepanjang jalan
banyak ditemui tanaman merica jenis merica hitam yang saat ini sedang berbuah
lebat. Komoditas perkebunan disini bisa dinikmati pengunjung, misalnya memetik langsung
dari kebunnya, atau minta dimasakkan hasil sayuran untuk dimakan setelah puas
berkeliling. Akhirnya sampailah di tempat pertemuan sungai / tempuran , yaitu
Sungai Progo , Sungai Tangsi dan Sungai Gending dengan latar belakang Gunung
Sumbing. Sungai Progo terlihat keruh dengan debit air yang deras, karena
semalam hujan lebat. Ditempat ini disediakan tempat duduk dari bambu untuk
istirahat sejenak dan menikmati pemandangan arah sungai. Tidak jauh dari tempat
ini ada rumah pohon yang bisa digunakan untuk photo, dibutuhkan nyali dan
konsentrasi karena tidak ada tangga, hanya ada bambu untuk pegangan, dan untuk
mencapai tempat duduknya harus melewati dahan pohonnya # hehehehehe # ,
terbayang kan gimana dahan pohon itu kalo basah. Akhir dari perjalanan rute ini
adalah tempat semula berangkat yaitu seberang pasar / tempat pentas kesenian.
Jelajah pun dilanjut, kali ini
rute ke Taman Batu Klatakan. Jangan bayangkan taman dengan pepohonan hijau dan
bunga berwarna – warni. Taman Batu disini adalah tempat di pinggir Sungai Progo
yang penuh dengan batu kali. Setelah melewati kebun pepaya sampailah di pinggir
Sungai Progo. Disini Gunung Sumbing terlihat dan apabila cuaca cerah kadang
terlihat mobil melintas di lereng gunung
itu, dan sore haripun juga bisa dijadikan arena melihat sunset dengan latar
belakang gunung. Perjalanan turun ke sungai agak mengkhawatirkan, karena
medannya, meskipun tidak begitu curam tetapi jalan yang sangat kecil, sempit
dan licin sedikit merepotkan. Begitu
sampai pinggir sungai terhampar bebatuan, sayangnya air progo saat ini sedang
keruh coklat serta arus yang lumayan deras membuat saya berpikir 2 kali untuk
sekedar main air dipinggirnya. Ditempat ini ada kedung yang diberi nama Kedung
Bah Ko Liem, ceritanya dulu ada pemancing bernama Bah Ko Liem yang saat
memancing jatuh dari tebing seberang sungai dan meninggal sehingga tempat ini
sering disebut sesuai namanya. Kedung ini memang jadi favorit pemancing karena
disini banyak di jumpai ikan khas sungai Progo yaitu Beong, selain juga ada ikan
Pelus . Cuaca yang panas juga tidak adanya tempat berteduh membuat kami
memutuskan untuk segera melanjutkan perjalanan lewat jalan perkebunan saja,
meskipun sebetulnya ada juga jalur dipinggir sungai. Disini jalanan sedikit
menanjak agak panjang dengan pohon bambu di sisi kanan kiri yang ternyata
tembus di belakang pemakaman desa dan merupakan pintu masuk ke area Kampung
Bambu Klatakan. Jika ditotal mungkin sekitar 2 atau 3 km kami berjalan
menyusuri perkebunan desa dan pinggir sungai Progo. Lumayan buat olah raga
pagi, badan terasa segar berkeringat, juga sekalian wisata. Apalagi saat sampai
di pasar Kampung Bambu ini juga disambut dengan kesenian tradisional Topeng
Ireng yang memang dihadirkan untuk menghibur warga yang datang di Kampung
Bambu.
Itulah kelebihan Kampung Bambu,
selain ada pasar dibawah rumpun bambu, juga bisa jelajah jalan kaki maupun
mengendarai ATV / offroad di kebun dan pinggiran sungai Progo, masih ada lagi
hiburan kesenian tradisional dari desa – desa sekitar. Apalagi nantinya akan dibuatkan
jembatan untuk menghubungkan jalur jelajah sehingga tidak perlu lagi kembali ke
pasar terlebih dahulu. Sebetulnya desa – desa di sekitaran Candi Borobudur ini
memang mempunyai potensi sebagai desa wisata, termasuk Desa Bojong ini dengan
Kampung Bambunya. Menurut penuturan mas Agus, beberapa tamu hotel sekitaran
candi, termasuk wisatawan asing kerap menyambangi desa ini, dan mereka merasa
senang dengan keadaan suasana desa yang masih alami. Tentu saja fasilitas dan
kebersihan harus tetap dijaga dan ditingkatkan agar pengunjung semakin banyak
dan betah saat mengunjungi Kampung Bambu ini. Bagaimanapun juga usaha dari
warga Desa Bojong dengan Kampung Bambu ini patut diapresiasi, karena disinilah
bisa ditampilkan potensi desanya, dari mulai alam sampai dengan kebun beserta
olahannya yang dijajakan di pasar ini, yang tentu saja akan meningkatkan
pendapatan dan kesejahteraan warga desa. Semoga kedepannya Kampung Bambu
semakin dikenal masyarakat luas dan menjadikan daerah ini sebagai desa wisata
unggulan.
Thanks to :
Khofsotul Fitria , atas sumbangan beberapa photonya
Aziza Noor
Wiji Kusrini
Dul Rahman
.. marahi kpingin mas Yoga .....
BalasHapusbisa dicoba lagi Minggu Legi pak Thomas ... menyenangkan ..wisata sekalian olah raga jalan kaki..sehat jasmani rohani ..
Hapus.. sorry mas , my second name...
BalasHapus